FOMO: Takut Ketinggalan atau Emang Gak Ada Kerja Lain? (Ironi Ikut Tren)

Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) semakin menjalar dalam keseharian kita. Kita menyaksikan individu yang berlomba-lomba hadir di setiap tren, mencoba semua yang sedang viral, hingga menciptakan kesan bahwa eksistensi mereka bergantung pada seberapa cepat mereka ‘ikut-ikutan’. Namun di balik dorongan untuk terus update, tersimpan ironi sosial yang layak dibedah lebih dalam.

Apa Itu FOMO dan Mengapa Begitu Menggoda?

FOMO adalah rasa cemas atau takut karena merasa tertinggal terhadap apa yang dilakukan orang lain. Dalam era digital, perasaan ini makin diperparah oleh media sosial yang terus-menerus memamerkan kehidupan “sempurna” orang lain — liburan, pencapaian, lifestyle, bahkan lelucon receh sekalipun.

Setiap kali kita membuka Instagram, TikTok, atau X (dulu Twitter), kita disambut oleh tren baru. Tidak ikut serta? Rasanya seperti alien. Kita takut dianggap ketinggalan zaman, tidak relevan, atau bahkan kehilangan “harga sosial”.



Ketika Tren Jadi Mata Pencaharian: Ironi Sosial di Tengah Era Viral

Lucunya, sebagian dari kita tidak hanya mengikuti tren karena takut tertinggal. Ada juga yang melakukannya karena tidak tahu harus ngapain lagi. Seolah-olah, ikut tren adalah satu-satunya bentuk produktivitas yang tersedia. Padahal, tidak semua tren perlu diikuti, dan tidak semua yang viral layak untuk ditiru.

Tren terkadang justru melahirkan konten dangkal dan repetitif, tanpa kedalaman makna. Kita temui video yang isinya hanya lipsync, joget, atau prank berulang-ulang, sekadar karena "lagi rame". Di sini, FOMO berubah menjadi bentuk kerja instan, bukan kreasi otentik.

Media Sosial: Mesin Pemicu dan Pemelihara FOMO

Algoritma media sosial bekerja seperti narkotik psikologis. Mereka memberi kita dopamin setiap kali kita ‘update’ dan mendapatkan likes, views, atau komentar. Semakin sering kita membuka aplikasi, semakin banyak kita terpapar konten yang bikin kita merasa "harus ikutan juga".

Platform seperti TikTok bahkan dirancang untuk mempercepat penyebaran tren, menjadikan siapa pun yang beruntung sebagai viral dalam semalam. Namun, keberuntungan itu datang dengan harga: kecemasan, kelelahan mental, dan krisis identitas digital.

FOMO sebagai Budaya Konsumsi yang Tidak Sehat

FOMO bukan hanya memengaruhi bagaimana kita bersikap di dunia maya, tapi juga berdampak pada kebiasaan konsumsi kita di dunia nyata. Banyak orang membeli barang, ikut acara, atau mencoba gaya hidup tertentu bukan karena butuh, tapi karena takut tidak dianggap “in”.

Budaya ini membuat kita terjebak dalam siklus konsumsi impulsif, mengejar validasi eksternal, dan akhirnya kelelahan oleh ekspektasi yang tak pernah selesai. Ironisnya, di tengah semua ini, kita kehilangan kendali atas diri sendiri.

Mengapa Kita Harus Belajar Menahan Diri dari FOMO

Membebaskan diri dari FOMO bukan berarti anti-sosial atau kudet. Justru, ini soal menyaring apa yang benar-benar penting bagi kita. Tidak semua tren perlu diikuti. Tidak semua hype patut dipercaya.

Menahan diri adalah bentuk resistensi terhadap tekanan sosial yang membabi buta. Ketika kita berhenti sejenak dan bertanya: “Apakah ini benar-benar berguna buat saya?”, kita mulai mengambil alih kendali hidup. Kita menjadi pelaku, bukan sekadar penonton atau peniru.

Langkah Strategis Mengelola FOMO dalam Era Digital

1. Kurasi Konsumsi Digital

Unfollow akun-akun yang hanya memicu rasa iri dan kecemasan. Ikuti akun yang membangun, memberi wawasan, atau setidaknya membuatmu tertawa sehat.

2. Tetapkan Tujuan Pribadi

Jangan jadikan algoritma sebagai penentu arah hidup. Tetapkan apa yang ingin kamu capai, dan fokus pada prosesnya. Biarkan tren lewat tanpa perlu kamu naik ke atasnya setiap saat.

3. Ambil Waktu untuk Detoks Digital

Sekali-kali, putus koneksi dengan dunia maya selama beberapa jam atau hari. Temukan kembali apa yang membuatmu hidup tanpa perlu pembuktian online.

4. Buat Karya yang Otentik

Daripada ikut-ikutan tren yang sama, coba bikin sesuatu yang datang dari pengalaman atau perspektifmu sendiri. Konten yang jujur dan orisinal seringkali lebih berdampak dan tahan lama.

Kesimpulan: Ikut Tren Itu Boleh, Asal Bukan Jadi Budak

FOMO adalah realitas modern yang tak bisa kita abaikan, tapi juga tak perlu kita tunduki. Kita tidak harus hadir di semua tren, tidak harus menanggapi semua isu, dan tidak perlu memaksa diri untuk jadi bagian dari sesuatu hanya karena semua orang melakukannya.

Tren datang dan pergi, tapi integritas diri adalah hal yang langka dan berharga.

Jadi, sebelum kita ikut joget challenge lagi, sebelum kita posting opini yang belum tentu kita pahami, mari kita tanya dulu: Ini saya yang mau, atau saya cuma takut ketinggalan?

Lebih baru Lebih lama