Dari Kepo ke Candu Digital: Menguak Fenomena Stalking Medsos dan Scrolling yang Tak Terkendali

Di era digital yang kian masif, kebiasaan stalking media sosial (medsos) dan scrolling tanpa henti telah menjelma menjadi fenomena yang sulit diabaikan. Apa yang awalnya sekadar rasa penasaran (kepo), kerap berubah menjadi perilaku adiktif yang menggerogoti produktivitas dan kesehatan mental. Lantas, mengapa kebiasaan ini begitu sulit dihentikan? Jawabannya terletak pada kompleksitas candu digital yang merangkul kebutuhan psikologis manusia akan validasi dan rasa aman.



Mekanisme Candu Digital: Validasi Emosional di Balik Layar

Menurut riset psikologi digital, stalking medsos dan scrolling berlebihan tidak hanya dipicu oleh rasa ingin tahu, melainkan juga oleh dorongan emosional untuk mencari kepastian. Setiap like, komentar, atau bahkan aktivitas mengamati kehidupan orang lain di medsos memberikan stimulasi instan pada otak, melepaskan dopamin yang menciptakan rasa nyaman sementara. Mekanisme inilah yang memperkuat siklus candu digital, di mana pengguna terus kembali untuk memuaskan “lapar” akan pengakuan sosial.

Fenomena ini diperparah oleh algoritma platform media sosial yang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna. Konten yang dipersonalisasi, notifikasi beruntun, dan infinite scroll menjadi jebakan halus yang mengikat pengguna dalam lingkaran scrolling tanpa henti. Akibatnya, batas antara kepo sehat dan kebiasaan kompulsif kian kabur.

Stalking Medsos: Dari Rasa Ingin Tahu ke Gangguan Psikologis

Aktivitas stalking medsos sering kali dimulai dari keinginan sederhana: memantau kehidupan orang lain, baik teman, mantan, atau selebritas. Namun, kebiasaan ini dapat berkembang menjadi obsesi ketika individu mulai membandingkan diri secara tidak sehat atau menggantungkan harga diri pada respons orang lain. Psikolog menyebutnya sebagai “social comparison trap,” di mana pengguna medsos terjebak dalam siklus penilaian diri berdasarkan standar virtual yang tidak realistis.

Dampaknya tidak main-main. Studi Journal of Social and Clinical Psychology (2023) mengungkapkan bahwa intensitas stalking medsos yang tinggi berkorelasi dengan peningkatan kecemasan, rendahnya self-esteem, dan kecenderungan isolasi sosial. Hal ini menegaskan bahwa candu digital bukan sekadar gangguan kebiasaan, melainkan ancaman serius bagi keseimbangan mental.

Mengidentifikasi Diri: Apakah Anda Terjebak dalam Candu Digital?

Ciri utama dari candu digital adalah ketidakmampuan mengontrol durasi penggunaan medsos, meski telah menyadari dampak negatifnya. Beberapa pertanyaan kunci untuk mengidentifikasi kondisi ini antara lain:

  1. Apakah Anda kerap scrolling hingga lupa waktu, bahkan mengorbankan jam tidur?

  2. Apakah stalking medsos menjadi aktivitas pertama yang dilakukan saat membuka ponsel?

  3. Apakah Anda merasa gelisah atau “FOMO” (fear of missing out) ketika tidak memantau unggahan tertentu?

Jika jawaban “ya” mendominasi, bisa jadi Anda telah terjebak dalam jerat candu digital.

Langkah Mitigasi: Menata Ulang Hubungan dengan Medsos

Memutus rantai candu digital memerlukan kesadaran dan strategi konkret. Pertama, batasi waktu penggunaan medsos dengan aplikasi screen time tracker. Kedua, alihkan kebiasaan scrolling dengan aktivitas produktif, seperti membaca atau olahraga. Terakhir, latih mindfulness untuk mengurangi ketergantungan pada validasi eksternal.

Fenomena stalking medsos dan scrolling tanpa henti adalah cerminan dari dinamika psikologis manusia di era hiperkonektivitas. Dengan memahami akar candu digital, kita dapat mengambil langkah proaktif untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan virtual dan realitas. Bagaimana dengan Anda—masihkah medsos menjadi alat hiburan, atau justru belenggu yang sulit dilepaskan? 

Lebih baru Lebih lama