Sidang isbat adalah tradisi yang dilakukan di Indonesia untuk menentukan awal Ramadan dan Idulfitri. Namun, tahukah Anda bahwa pada zaman Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, sidang isbat tidak pernah dilakukan? Lalu, bagaimana cara umat Islam pada masa itu menetapkan hari Lebaran?
Artikel ini akan membahas metode penentuan Lebaran di zaman Nabi dan bagaimana perkembangannya hingga saat ini.
Penentuan Lebaran di Zaman Nabi
1. Berdasarkan Kesaksian Langsung
Pada masa Nabi Muhammad, penentuan awal bulan hijriah, termasuk Idulfitri, dilakukan dengan saksi mata. Jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit pertama), ia akan langsung melaporkan kepada Nabi.
Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, di mana Nabi bersabda:
"Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihatnya." (HR. Bukhari)
Artinya, puasa Ramadan dimulai ketika hilal terlihat, dan Idulfitri ditetapkan saat hilal Syawal muncul. Tidak ada sidang atau perhitungan rumit, cukup dengan kesaksian seseorang yang melihat hilal.
2. Tidak Ada Teleskop, Hanya Mengandalkan Penglihatan
Berbeda dengan zaman sekarang yang menggunakan teleskop canggih, pada masa Nabi, penentuan awal bulan hanya mengandalkan penglihatan langsung.
Jika ada satu orang saja yang melihat hilal dan kesaksiannya dapat dipercaya, maka keesokan harinya langsung ditetapkan sebagai hari raya. Hal ini menunjukkan betapa sederhana dan praktisnya metode yang digunakan pada masa itu.
3. Jika Hilal Tidak Terlihat, Puasa Disempurnakan 30 Hari
Ada kalanya kondisi cuaca buruk sehingga hilal tidak bisa terlihat. Dalam situasi seperti ini, Nabi Muhammad menetapkan bahwa bulan Ramadan harus disempurnakan menjadi 30 hari sebelum Idulfitri ditetapkan.
Hal ini juga berdasarkan hadis yang menyatakan:
"Jika kalian terhalang melihat hilal, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari." (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, ketika hilal tidak terlihat karena mendung atau faktor lainnya, umat Islam tetap berpegang pada prinsip kepastian dengan menyempurnakan bulan Ramadan hingga 30 hari.
Perkembangan Sidang Isbat di Era Modern
1. Sidang Isbat: Tradisi Baru dalam Penentuan Idulfitri
Sidang isbat baru dikenal belakangan setelah berkembangnya ilmu falakiyah (astronomi Islam). Tujuannya adalah untuk menentukan awal bulan dengan lebih pasti berdasarkan kombinasi rukyat (pengamatan langsung) dan hisab (perhitungan astronomi).
Di Indonesia, sidang isbat dilakukan oleh Kementerian Agama, yang melibatkan para ulama, ahli astronomi, dan berbagai perwakilan organisasi Islam.
2. Kombinasi Saksi Mata dan Teknologi
Meskipun teknologi semakin canggih, metode penentuan Lebaran tetap mempertahankan prinsip dasar dari zaman Nabi: kepastian melihat hilal. Bedanya, sekarang saksi mata dibantu dengan teleskop, kamera CCD, dan perhitungan astronomi.
Teknologi ini memastikan bahwa keputusan yang diambil lebih akurat dan dapat diterima oleh seluruh umat Islam.
Kesimpulan
Di zaman Nabi Muhammad, penentuan Lebaran dilakukan dengan metode sederhana, yaitu kesaksian langsung dari orang yang melihat hilal. Jika hilal tidak terlihat, maka bulan Ramadan digenapkan menjadi 30 hari.
Sidang isbat yang kita kenal sekarang merupakan perkembangan dari metode tradisional ini, dengan tambahan ilmu falakiyah dan teknologi modern. Prinsipnya tetap sama: menentukan awal bulan dengan kepastian.
Meskipun zaman berubah, esensi dari penentuan Lebaran tetap mempertahankan sunnah Nabi. 🚀